Keramahan Polisi NTT

Tidak semua polisi beringas ataupun bersikap tak ramah. Contohnya keramahan polisi di NTT khususnya yang kami jumpai di perbatasan Indonesia dan Timor Leste di Mota’ain, Atambua. Beta akan kisahkan ceritanya dibawah ini.

Setelah malam sebelumnya kami beristirahat di Hotel Liurai, Atambua, kami naik bemo pagi jam 8 ke perbatasan Timor Leste. Perjalanan ini ditempuh hanya dalam waktu sekitar 1 jam. Jarak yang ditempuh sebenarnya tidaklah terlalu jauh, namun medan perjalanan cukup menantang, terjal dan berbatu-batu.P1040384

P1040390

Setelah turun dari bemo, tempat pertama yang kami lihat adalah pos polisi. Ada sekitar 5 orang berjaga di pos depan. Kami sampaikan tujuan kedatangan kami untuk foto-foto saja di perbatasan. Awalnya mereka heran juga, 2 anak muda, bukan dari instansi mana-mana, dan datang hanya untuk berfoto. Namun, kami ditunjukkan juga arah menuju ke pos perbatasan untuk melapor kembali. Kami hanya perlu melapor singkat tujuan kedatangan kami dan kami dapat berfoto di perbatasan hanya tidak boleh melewati garis kuning yang merupakan batas kedua negara.

P1040414P1040409

Sayangnya, di balik garis kuning itu sebetulnya masih banyak yang dapat dilihat, namun kami tak berani melanggar, siapa tahu tembak langsung di tempat. Misi hidup belum selesai bos! Setelah berfoto sekitar 15 menit, kami sudah kembali ke pos depan dan harus menunggu bemo selanjutnya sekitar pukul 12 siang untuk kembali ke Atambua, padahal saat itu baru pukul 09.30. Untungnya polisi di sana tahu bahwa kami belum puas berfoto dan bemo yang kami tunggu pun masih lama tiba, akhirnya kami diajak untuk masuk melewati perbatasan dengan penjagaan polisi, yang malah menjadi sangat menyenangkan karena pak polisi mengantar dengan motor bahkan bersedia mengambilkan foto untuk kami.

P1040430

Setelahnya kami masih sempat berbincang bersama sambil menunggu bemo, dan dari situ juga beta tahu bahwa Pak SBY pernah ditempatkan di pos penjagaan yang sama ketika Timor Leste masih menjadi bagian dari NKRI.

Kisah ini saya tutup dengan kesimpulan bahwa Polisi di NTT, yang (maaf kata) bertampang agak sangar, ternyata baik sekali. Mendengar komentar saya, ada pak polisi yang menimpali bahwa kalau ada pendatang datang dengan ramah pasti ditolong, sebaliknya kalau datang dengan tampang masam atau bertindak laku aneh-aneh habislah sudah pendatang itu.

Semoga Pak Polisi di perbatasan tersenyum membaca catatan ini. Terima kasih Pak, selamat bertugas!

P1040445

Berkelana ke Atambua

Atambua adalah kota perbatasan dengan Timor Leste dan berjarak sekitar 300 km dari Kupang. Transportasi umum di jalur darat tersedia bis dan travel. Tiket bus Kupang—Atambua berharga 50000 rupiah dan dengan travel sekitar 110000 rupiah. Sebetulnya perjalanan dengan travel akan lebih cepat, yaitu sekitar 5 jam jika dibandingkan dengan bis yang membutuhkan sekitar 8 jam diselingi oleh ngetem di berbagai tempat dari Kupang ke Atambua. Namun, karena tiket travel sudah habis dipesan, kami pun memilih bis antarkota saja.

P1040329

Ternyata perjalanan dengan bis tidaklah terlalu buruk, tempat duduknya cukup nyaman dan juga bis tidak menarik penumpang sampai melebihi kapasitas bis. Hanya, seringkali penumpang membawa berbagai barang bawaan dari kardus-kardus hingga motor yang diikat di belakang atau di atas bis. Perjalanan dari Kupang menuju Atambua melewati beberapa kota besar yaitu Soe, Niki-Niki, Kefa, dan baru sampai di Atambua. Bis akhirnya sampai di pasar baru kota Atambua sekitar pukul 4 sore waktu setempat tepat 8 jam dari awal perjalanan. Dari sana kami naik bemo ke lapangan Simpang Lima karena dari informasi yang kami dapatkan di sekitar sana terdapat beberapa penginapan.

P1040344

Tidak terlalu sulit bagi kami untuk mendapatkan penginapan, kami menginap di hotel pertama yang kami jumpai bernama Hotel Liurai. Hotel ini tampaknya sudah berdiri cukup lama, namun harga yang ditawarkan cukup bersahabat bagi pelancong dengan budget terbatas. Untuk kamar 2 orang dapat diperoleh dengan harga 70000 ribu (+PPN 10%) per malam. Cukup murah bukan?

P1040334

Dari sana kami mencoba menjelajah kota Atambua yang ternyata tak terlalu besar dan uniknya banyak nama jalan yang dapat ditemui di Jawa juga bahkan dengan penempatan yang mirip. Seperti jalan Jenderal Soedirman, Jenderal Gatot Subroto, Pattimura, dsb.

 P1040352

Pertokoan juga cukup banyak terdapat di Atambua. Toko-toko itu menjual berbagai jenis barang, namun umumnya berjenis toko serba ada dan makanan. Namun, tentunya ada juga apotik, toko buku, toko pakaian, dsb tapi jumlahnya hanya satu-dua. Kami mengunjungi satu toko buku di Atambua dan menemukan buka berisikan doa dalam bahasa asli daerah ini, yaitu bahasa Tetun. Konon katanya, bahasa Tetun ini masih digunakan dari Atambua sampai Timur Leste.

Hal yang menarik adalah kebanyakan dari pedagang di Atambua ternyata merupakan pendatang dari tanah Jawa ini, dari Solo, Surabaya. Dan mereka tampaknya berhasil di Atambua ini, terlihat dari rumah toko yang mereka gunakan besar-besar dan bertingkat. Orang Cina dan orang Jawa kembali menunjukkan ketangguhannya dalam mengeksplorasi tanah Indonesia ini.

P1040355

Kota Atambua cukup menyenangkan, belum semaju Kupang apalagi kota-kota besar lainnya namun jauh lebih maju dari kota besar lainnya di Pulau Timor seperti Soe dan Kefa. Mungkin karena letaknya yang dekat dengan perbatasan?

Sekapur Sirih

Beta sering mendengar tentang sirih yang sering dikunyah oleh ibu-ibu dan dapat menjadikan gigi berwarna merah. Sayangnya beta belum pernah melihat langsung seperti apa dan bagaimana cara kerja sirih ini.

Kebetulan saat itu beta sedang menunggu bemo yang berangkat dari Atambua, tepatnya dari pasar baru, menuju perbatasan dengan Timor Leste, terminal Mota’ain. Karena muatan bemo belumlah penuh, maka beta sempat berbincang dengan seorang wanita paruh baya yang menjajakan sirih, pinang, dan tembakau di tepi jalan. Wanita yang ternyata berasal dari Timor Leste ini lantas bercerita mengenai cara mengunyah sirih. Caranya sirih dicampurkan dengan kapur dan dikunyah bersama dengan pinang.

Ibu ini menjelaskan dengan detil bahkan sengaja menyusun dagangannya untuk dapat difoto oleh beta. Akhirnya, beta pun membeli sirih yang dijual ibu itu seharga seribu rupiah saja. Ternyata diberikan cukup banyak, lumayan untuk bereksperimen.

Hal yang menarik dari tradisi menguyah sirih ini rupanya terkait dengan upaya seorang pria mendapatkan wanita. Tradisi dari Minang ini yaitu calon pria mendekati calon ibu mertuanya dengan menguyah sirih bersamaan. Katanya, jika mertuanya berhasil dimenangkan, maka anaknya yang kita incar otomatis dapat jadi dengan kita. Tradisi tidaklah harus dipercayai, namun tidak ada salahnya belaku baik pada calon mertua bukan?

Inilah kisah sekapur sirih. Sirih, pinang , dan juga sejumput kapur dari Atambua, Nusa Tenggara Timur.

P1040369